Sabtu, 28 Mei 2011

Tertib Sampah; Budaya Menuju Ambon Manise*

Kota Ambon sebelum terkena konflik bersaudara, dahulunya sangat indah serta terkenal di Indonesia dan dunia dengan sebutan Ambon Manise. Hal ini sesuai dengan apa yang katakan dan menjadi pesan moral oleh Wali Kota Ambon M.J. Papilaja, julukan Manise; yakni maju, aman, nyaman, indah, sehat dan sejahtera, yang disandang Kota Ambon harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh seluruh warganya karena predikat ini sudah melegenda di seluruh dunia. (KOMPAS.com/Senin, 7 September 2009).
Sepintas melirik, memang benar adanya sebutan terhadap Kota Ambon tersebut. Penghargaan piala Adipura oleh presiden Soeharto kepada kota berteluk indah ini menjadi saksi historis ke-Manise-an Kota Ambon itu. Namun itu dulu, sekarang, pasca terjadinya konflik, semua simbol keindahan kota Ambon tersebut pun sirna bak ditelan emosi dan keegoisan konflik bersaudara yang pernah bergelorah itu. Merusak serta membunuh sendi-sendi kehidupan, bukan saja kehidupan sosial kemasyarakatan, tetapi juga kehidupan lingkungan. Alhasil kini kota dengan motto “Mari Manggurebe Maju” ini, sekarang sedang tenggelam jauh  ke dalam kubangan-kubangan sampah. Dimana-mana di seluruh pelosok kota, sampah yang bertebaran kini menjadi suatu pemandangan rutin.
Namun sekarang, di tengah kondisi yang sudah sangat kondusif, Pemkot Ambon beserta  unsur-unsur terkait yang peduli terhadap lingkungan, mulai bergeliat melakukan pemulihan terhadap lingkungan kota Ambon. Berbagai program yang dilakukan terus diupayakan untuk bisa menyukseskan harapan mengembalikan Ambon pada masa-masa keemasannya, terutama sebagai Kota Manise.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, tapi masalah sampah di kota Ambon juga tidak pernah selesai. Terlihat Kota Ambon masih dikotori oleh tebaran-tebaran sampah dimana-mana. Di tambah dengan sifat sebagian warga kota yang super cuek plus kebiasaan membuang sampah sembarangan. Kota Ambon pun kini dalam dilema penataan dan penghijauan lingkungan. Menjadi pertanyaan, apakah masalah sampah hanya menjadi tanggung jawab pemerintah kota? Terus dimana peran masyarakat dalam upaya penanganan masalah sampah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba saya jawab dengan solusi-solusi yang akan di uraikan dalam tulisan ini.
Konsep yang saya tawarkan adalah “Tertib Sampah; Budaya Menuju Ambon Manise” dengan berbagai pola pendekatan, yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa sampah merupakan tanggung jawab bersama; Melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya keterlibatan mereka dalam upaya penangan sampah di kota Ambon. Sehingga pola pikir masyarakat yang cuek serta kebiasaan membuangn sampah sembarangan bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
2. Memilah/memisahkan sampah antara sampah organik dan non-organik di tingkat masyarakat;Memilah atau memisahkan sampah-sampah menjadi sampah organik dan nonorganik dari tingkat rumah tangga, pasar, restoran dan rumah makan sebagai timbulan sampah awal. Upaya ini setidaknya dapat mengurangi beban petugas sampah untuk memilah lagi sampah-sampah tersebut. Sehingga proses daur ulang selanjutnya bisa terlaksana dengan baik dan cepat.
3. Mendaur ulang sampah, baik untuk pembuatan kompos/pupuk maupun untuk jenis produk lainnya; Di tingkat rumah tangga setelah sampah dipilah, kemudian diusahakan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos. Sedangkan sampah non organik dipilah serta dikumpulkan menurut jenisnya sehingga memungkinkan untuk di daur ulang menjadi jenis produk hasil guna lainnya. Kalaupun tidak bisa diolah di rumah tangga, maka sampah yang sudah dipilah tadi bisa diangkut ke TPS atau TPA.
4. Meningkatkan pelayanan pengangkutan sampah baik tenaga maupun materil, karena setiap saat volume sampah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat; dan
5. Pengelolaan dan penanganan sampah di tempat pembuangan akhir sampah, dilakukan dengan cara yang akrab/ramah terhadap lingkungan.
Dalam pengelolaan sampah di kota Ambon, peran aktif serta kebiasaan tertib sampah masyarakat sangatlah menentukan. Kebiasaan masyarakat kota Ambon dalam membuang sampah sembarangan, menunjukkan bahwa belum adanya kesadaran masyarakat terhadap budaya tertib sampah di kota ambon. Olehnya itu, harus ada kesadaran kolektif akan tanggung jawab bersama dari semua unsur masyarakat dalam hal penanganan serta pengelolaan sampah di kota Ambon.
Berdasarkan tahapan proses di atas kunci penanganan sampah berbasis masyarakat (komunal) ini sebenarnya terletak pada rantai proses di tingkat rumah tangga dan di tingkat kelurahan/desa (yaitu di tempat pembuangan sampah sementara atau TPS). Yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengelola plus (pemilik home industri). Tanpa system komunal ini mustahil sampah dapat diatasi dengan tuntas.
Implementasi model ini tergantung dari sikap masyarakat dalam memperlakukan sampah serta pemerintah perlu mendorong kearah Pengelolaan basis komunal. Semakin sadar masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan akan semakin mudah proses ini dapat dilaksanakan.
Untuk itu peran pemerintah, LSM serta peran dunia usaha dalam mensosialisasikan hal ini serta dan harus didukung dengan penerapan peraturan perundangundangan tentang lingkungan serta penerapan perundangundangan tentang pengelolaan sampah diserta peraturan daerah (Perda) yang lebih tegas, pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dalam penanggulangan masalah sampah khususnya di perkotaan, serta mensukseskan pembangunan pertanian organik Indonesia, sistem pertanian yang berkelanjutan (agro sustainable system).

Selain itu, harus dilakukan sosialisasi dan penyedian tempat sampah Melalui;
1.   Jalur pendidikan; SD, SLTP, SMU dan Perguruan Tinggi
2. Alat-alat dan tempat-tempat transportasi; mobil-mobil, kapal feri dan tempat-tempat ojek serta terminal.
3. Memperkuat peraturan-peraturan yang ada tentang penyediaan tempat sampah, terutama kepada penyedia layanan transportasi dan jika tidak diikuti, maka harus ada sangsi yang jelas dan nyata.
4.  Sosialisasi dan pendidikan langsung kepada masyarakat, agar membuang sampah pada tempat-tempat yang telah disediakan.
5.  Dan yang terakhir, penerapan sikap dan sifat tertib sampah dengan sistem Batton Up; dari bawah ke atas. Yakni suatu pola pengelolaan sampah yang dimulai dengan kesadaran “Tertib sampah” mulai dari keluarga-RT-Kelurahan- kecamatan.

*Oleh : Abdullah Karepesina

Kemiskinan dan Pengangguran Menjadi Simbol Pemilukada*

Pada tahun 2010 ini, beberapa kabupaten di provinsi Maluku akan segera melaksanakan pesta demokrasi, “Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Pemilukada), untuk memilih pemimpin daerah tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati) masa bakti 2010-2015. Sebut saja misalnya, Kabupaten Kepulauan Aru dan Kabupaten Seram Bagian Timur bulan Juli ini. Dan setelah itu akan diakhiri dengan Kabupaten Buru Selatan serta Kabupaten Maluku Barat Daya, pada bulan oktober nanti.
Awal bulan Juli ini, tepatnya pada tanggal 7 Juli 2010, akan menjadi bulan bersejarah bagi masyarakat Negeri Ita Wotu Nusa (Julukan untuk Kabupaten Seram Bagian Timur) dan Kabupaten Kepulauan Aru. Pasalnya, pada tanggal 7 Juli tersebut, prosesi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati untuk periode 2010-2015 akan segera dilakukan secara bersamaan pada kedua wilayah tersebut. Sedangkan untuk Kabupaten Buru Selatan dan Kabupaten Maluku Barat Daya, direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Oktober mendatang.
Walau keempat wilayah tersebut masih seumur jagung, namun geliat pesta demokrasinya tidak kalah menghebohkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Provinsi pengahasil rempah-rempah tanah para raja-raja ini. Tidak tanggung-tanggung, upaya penyuksesan agenda akbar milik rakyat tersebut pun telah dilakukan. Dimulai dari sosialisasi, pemampangan baliho dan spanduk, penempelan stiker, serta pembagian kalender kepada yang punya hajatan (baca : masyarakat). Untuk Kabupaten SBT dan Kepulauan Aru, sekarang telah memasuki masa-masa tenang karena telah memasuki H-1 pelaksanaan pilkada..
Sedikit mengulas tentang persiapan yang dilakukan, saya ingin menilai tentang program-program yang sedang dan telah dilakukan serta yang masih diusung/direncanakan oleh para kontestan (Calon Bupati/Wakil Bupati) yang sedang bertarung dan natinya akan bertarung pada perhelatan pesta rakyat tersebut. Memang benar, bahwa untuk memenangkan kompetisi politik, program kerja seorang kontestan harus disampaikan melalui pesan-pesan politik yang sesuai dengan realitas daerah pemilihannya.
Isu kesejahteraan masyarakat, peningkatan sarana dan prasarana transportasi, pembebasan biaya pendidikan serta penurunan biaya kesehatan, adalah merupakan bagian Proker (program kerja) dari sekian banyak proker yang sudah lazim didengar. Namun, dari pelbagai program kerja yang ada,  isu sosial kemasyarakatan yang paling sensitiv di telinga masyarakat adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Tak tanggung-tanggung, karena kedua isu mendasar tersebutlah yang sering mempengaruhi serta menarik simpatisan  yang banyak.
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua hal yang berjalan bersamaan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Bahkan diandaikan seperti ayam dan telur, karena keduanya saling mempengaruhi. Berbicara tentang kemiskinan dan pengangguran, adalah berbicara tentang masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak akan pernah habis ulasannya. Oleh karena kedua hal ini menyangkut hajat hidup seseorang, maka kedua hal ini sering menjadi isu hangat yang laris di dengungkan dalam ajang pesta demokrasi.
Terlepas dari harapan akan kesuksesan dari pelaksanaan event demokrasi pada keempat Kabupaten tersebut, sepintas cita akan kehidupan kesejahteraan masyarakat yang bebas dari lilitan kemiskinan dan pengangguran, adalah hal mendasar yang sering menjadi harapan setiap kali pesta rakyat tersebut dilaksankan. Sedikit menoleh ke belakang, jika mau melihat kinerja Pemerintah keempat Kabupaten (SBT, Kep. Aru, Bursel dan MBD) yang lalu, program-program pembangunan yang dilaksanakan juga memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran pada wilayahnya masing-masing.
Meskipun demikian, namun masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan untuk daerah-daerah tersebut. Menjadi pertanyaan baru; mengapa sampai hal itu masih terjadi? menurut saya, hal tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena waktu pelaksanaan program kerja terlalu singkat. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari pemekaran daerah yang masih baru.  Kedua, partisipasi masyarakat yang belum begitu optimal, karena mereka (masyarakat) masih harus disibukan dengan konsilidasi serta rekonsiliasi public sebagai akibat dari adanya pemekaran daerahnya. Ketiga, Kesiapan daerah dan masyarakat yang belum begitu optimal dalam menyambut kehadiran otonomi daerahnya. Baik dari segi infrastruktur maupun dari segi sumber daya manusia.
Dampak sistemik dari belum optimalnya penyelesaian masalah tersebut adalah keterlambatan pembangunan. Dan muara dari keterlambatan pembangunan tersebut adalah ketidaksejahteraan kegidupan masyarakat setempat. Hal ini terbukti dengan masih besarnya presentase angka kemiskinan dan pengangguran, rendahnya partisipasi pendidikan masyarakat, keterisolasian wilayah, serta rentannya kehidupan sosial kemasyarakatan.
Padahal untuk keempat wilayah tersebut, potensi Sumber daya alamnya sangat melimpah ruah, baik di darat maupun di laut. Mulai dari perikanan yang berlimpah, pertambangan, perkebunan, sumber daya hayati, sampai pada minyak dan gas bumi. Dengan bermodalkan kekeyaan alam yang begitu potensial, bukan berarti kehidupan masyarakat setempat terjamin kesejahteraannya. Terlihat masyarakat setempat masih hidup dalam keadaan yang belum menggembirakan, alias belum begitu sejahtera. Pengangguran dan kemiskinan masih menjadi background yang mencolok dari pembangunan daerah yang masih mudah tersebut.
Dengan kondisi demikian, maka menjadi tugas dan tanggung jawab semua elemen masyarakat setempat untuk bisa meloloskan diri dari masalah kemiskinan dan pengangguran, dengan bermodalkan kekayaan alam yang ada. Terlebih karena kedua hal inilah yang menjadi sumber dari ketidaksjahteraan. Dan momentum yang tepat adalah melalui pelaksanaan ajang demokrasi (Pilkada). Karena melalui pesta rakyat tersebut, nasib daerahnya untuk lima tahun mendatang akan ditentukan. Apakah akan tetap berkutat pada kemunduran atau atau maju dalam penggapaian sebuah kesejahteraan.
Menurut hemat saya, jika ingin memenangkan kompetisi politik (baca : pemilukada) pada daerah-daerag tersebut, yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat saat ini adalah munculnya seorang public figure dengan visi/misi kreatif dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Visi pengentasan kemiskinan dan pengangguran harus menjadi prioritas utama, bukan prioritas kedua.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran, adalah merupakan icon penting yang bisa dijadikan sebagai platform utama sebuah program kerja bagi setiap kandidat Bupati dan Wakil Bupati yang akan bertarung dalam perhelatan pesta demokrasi diwilayahnya tersebut. Sehingga sangatlah tepat sekali, jika kemiskinan dan pengangguran dijadikan sebagai simbol dalam setiap Pilkada dimanapun tempatnya, termasuk di Maluku.
Tinggal di follow-up (baca : ditindak lanjuti), program kerja kandidat mana yang paling pantas dijadikan sebagai dasar pijak bagi masyarakat dalam memberikan suaranya. Akhirnya, sebagai bagian dari masyarakat Maluku, saya ucapkan selamat melaksanakan proses demokrasi tersebut secara LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia). Dan semoga hasilnya bisa membawa daerah ke arah yang lebih baik, terutama terhadap upaya pengentasan masalah kemiskinan dan pengangguran. (**) 
                                  
      Oleh : Abdullah Karepesina*

KERAJAAN ISLAM HATUHAHA

A. UMUM
Sebelum terbentuknya Kerajaan Islam Hatuhaha di Jazirah Uli Hatuhaha seringkali terjadi kerusuhan-kerusuhan, seperti pada tahun 1382 terjadi peperangan Urisiwa di gunung Sialana anatar kelompok-kelompok yang tidak mau tunduk pada prinsip-prinsip Hatuhaha, antara Kapitan yang satu dengan Kapitan yang lain.
Untuk dapat mengatasi segala kerusuhan serta membawa perubahan-perubahan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan di antara Kapitan-kapitan maupun tokoh-tokoh masyarakat di Jazirah Uli Hatuhaha, maka diangkatlah Ronerusun Marapaika (Matasiri) selaku kepala adat Hatuhaha Amarima Lounusa dengan istilah Latu Nusa Barakate, yang mempunyai kedudukan tertinggi di Jazirah Uli hatuhaha, dimana kedudukan ini masih tetap dipertahankan sampai saat ini dengan istilah Ketua Latu Pati. Sedangkan pada masing-masing negeri diangkat seorang raja, antara lain:
1.      Kapitan Seipati Kabaresi sebagai Latu (Raja) untuk kelompok Sahapori (Kailolo) dengan gelar Latu Surinai.
2.      Kelompok Samasuru (Kabauw) Latu Karia Sina (Latu Pisina Sinamahu) kemudian diserahkan kepada Latu Supaholo seterusnya kepada marga Pattimahu.
3.  Kelompok Mandelisa (Rohomoni) diangkat dari kelompok Moniya Tihusele ditetapkan Makuku Rahamete dengan gelar Sangaji, dimana marga Sangaji memegang tampuk pemerintahan sampai sekarang.
4.  Kapitan Tuai Leisina Tuanoya sebagai Latu (Raja) untuk kelompok Haturesi (Hulaliu).

B. TERBENTUKNYA KERAJAAN ISLAM HATUHAHA

Berdasarkan informasi dari leluhur kami bahwa di Maluku Tengah tepatnya di pulau Haruku, bagian Utara terdapat sebuah kerajaan Islam yang bernama “Kerajaan Islam hatuhaha”, yang pada saat itu merupakan suatu kerajaan Islam yang terkuat di Lease. Kerajaan Islam Hatuhaha terbentuk daripada lima buah negeri yang disebut Amarima Lounusa, antara lain :
1. Haturesi (Hulaliu)
2. Matasiri (Pelauw)
3. Samasuru (Kabauw)
4. Mandalisa (Rohomoni)
5. Sahapori (Kailolo)
Kerajaan Islam Hatuhaha ini sebelumnya bernama Kerajaan Hatuhaha, dimana struktur pemerintahannya belum diatur sebagaimana halnya suatu kerajaan.
Dengan kedatangan Datuk Zainal Abidin di Jazirah Uli Hatuhaha pada tahun 1385 Miladiyah sebagai penyiar agama Islam banyak membawa perubahan sehingga pada tahun 1410-1412 Miladiyah agama Islam diterima secara bulat oleh masyarakat Amarima Lounusa. Pada saat itu juga Kerajaan Hatuhaha berganti nama menjadi Kerajaan Islam Hatuhaha, dimana pelaksanaan roda administrasi pemerintahan dibagi menurut kedudukan adat, antara lain:
1.      Raja Matasiri (Pelauw) sebagai Latu Nusa Barakate Hatuhaha
2.      Raja Haturesi (Hulaliu) sebagai Sekretaris Hatuhaha (penyimpanan arsip/ surat)
3.      Raja Sahapori (Kailolo) sebagai ahli perdagangan (koordinator bidang ekonomi)
4.      Raja Samasuru (Kabauw) sebagai Panglima Perang Hatuhaha serta penjaga keamanan terhadap bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar Jazirah Uli Hatuhaha
5.      Raja Mandelisa (Rohomoni) sebagai Imam Hatuhaha, hal ini didasarkan pada Muhudumu merupakan orang pertama yang diIslamkan.
Setelah terbentuknya Kerajaan Islam Hatuhaha pada tahun 1410-1412 Miladiyah, tahun itu juga merupakan tonggak sejarah perkembangan agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha yang dapat mempersatukan Amarima Lounusa menjadi satu kesatuan, seperti diungkapkan pada kapatah di bawah ini:
Hatuhaha taha rua taha rima’o
Ite looka hiti haha ruma’ea
Ite looka hiti haha ruma’io
Irehu waela sala isya’i
Artinya :
Masyarakat Hatuhaha tidak ada perbedaan kelompok, baik dua maupun lima, mereka saling bantu membantu satu sama lain, karena mereka berasal dari satu pancaran mata air.

Dengan demikian setiap permasalahan yang timbul di Jazirah Uli Hatuhaha dapat dieselesaikan secara adat hatuhaha yang dinamakan “Musunipi” (musyawarah).
Kerajaan Islam Hatuhaha pada awalnya merupakan satu negeri adat yang besar dalam sejarah, dengan kedudukan ibu negerinya dikenal dengan nama Amahatu yang terletak disekitar pegunungan Alaka. Namun karena proses perkembangan sejarah, negeri Hatuhaha ini terpecah menjadi lima buah negeri yang kesemuanya terpencar disepanjang pesisir pantai pulau Haruku bagian Utara. Negeri Haturesi (Hulaliu) merupakan satu-satunya pecahan negeri Hatuhaha yang penduduknya berpindah agama, sedangkan empat negeri lainnya tetap berpegang kepada agama Islam.

post pertama saya

Ini adalah blog saya pertama menggunakan Blogger.com