Sabtu, 28 Mei 2011

Kemiskinan dan Pengangguran Menjadi Simbol Pemilukada*

Pada tahun 2010 ini, beberapa kabupaten di provinsi Maluku akan segera melaksanakan pesta demokrasi, “Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Pemilukada), untuk memilih pemimpin daerah tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati) masa bakti 2010-2015. Sebut saja misalnya, Kabupaten Kepulauan Aru dan Kabupaten Seram Bagian Timur bulan Juli ini. Dan setelah itu akan diakhiri dengan Kabupaten Buru Selatan serta Kabupaten Maluku Barat Daya, pada bulan oktober nanti.
Awal bulan Juli ini, tepatnya pada tanggal 7 Juli 2010, akan menjadi bulan bersejarah bagi masyarakat Negeri Ita Wotu Nusa (Julukan untuk Kabupaten Seram Bagian Timur) dan Kabupaten Kepulauan Aru. Pasalnya, pada tanggal 7 Juli tersebut, prosesi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati untuk periode 2010-2015 akan segera dilakukan secara bersamaan pada kedua wilayah tersebut. Sedangkan untuk Kabupaten Buru Selatan dan Kabupaten Maluku Barat Daya, direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Oktober mendatang.
Walau keempat wilayah tersebut masih seumur jagung, namun geliat pesta demokrasinya tidak kalah menghebohkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Provinsi pengahasil rempah-rempah tanah para raja-raja ini. Tidak tanggung-tanggung, upaya penyuksesan agenda akbar milik rakyat tersebut pun telah dilakukan. Dimulai dari sosialisasi, pemampangan baliho dan spanduk, penempelan stiker, serta pembagian kalender kepada yang punya hajatan (baca : masyarakat). Untuk Kabupaten SBT dan Kepulauan Aru, sekarang telah memasuki masa-masa tenang karena telah memasuki H-1 pelaksanaan pilkada..
Sedikit mengulas tentang persiapan yang dilakukan, saya ingin menilai tentang program-program yang sedang dan telah dilakukan serta yang masih diusung/direncanakan oleh para kontestan (Calon Bupati/Wakil Bupati) yang sedang bertarung dan natinya akan bertarung pada perhelatan pesta rakyat tersebut. Memang benar, bahwa untuk memenangkan kompetisi politik, program kerja seorang kontestan harus disampaikan melalui pesan-pesan politik yang sesuai dengan realitas daerah pemilihannya.
Isu kesejahteraan masyarakat, peningkatan sarana dan prasarana transportasi, pembebasan biaya pendidikan serta penurunan biaya kesehatan, adalah merupakan bagian Proker (program kerja) dari sekian banyak proker yang sudah lazim didengar. Namun, dari pelbagai program kerja yang ada,  isu sosial kemasyarakatan yang paling sensitiv di telinga masyarakat adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Tak tanggung-tanggung, karena kedua isu mendasar tersebutlah yang sering mempengaruhi serta menarik simpatisan  yang banyak.
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua hal yang berjalan bersamaan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Bahkan diandaikan seperti ayam dan telur, karena keduanya saling mempengaruhi. Berbicara tentang kemiskinan dan pengangguran, adalah berbicara tentang masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak akan pernah habis ulasannya. Oleh karena kedua hal ini menyangkut hajat hidup seseorang, maka kedua hal ini sering menjadi isu hangat yang laris di dengungkan dalam ajang pesta demokrasi.
Terlepas dari harapan akan kesuksesan dari pelaksanaan event demokrasi pada keempat Kabupaten tersebut, sepintas cita akan kehidupan kesejahteraan masyarakat yang bebas dari lilitan kemiskinan dan pengangguran, adalah hal mendasar yang sering menjadi harapan setiap kali pesta rakyat tersebut dilaksankan. Sedikit menoleh ke belakang, jika mau melihat kinerja Pemerintah keempat Kabupaten (SBT, Kep. Aru, Bursel dan MBD) yang lalu, program-program pembangunan yang dilaksanakan juga memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran pada wilayahnya masing-masing.
Meskipun demikian, namun masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan untuk daerah-daerah tersebut. Menjadi pertanyaan baru; mengapa sampai hal itu masih terjadi? menurut saya, hal tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena waktu pelaksanaan program kerja terlalu singkat. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari pemekaran daerah yang masih baru.  Kedua, partisipasi masyarakat yang belum begitu optimal, karena mereka (masyarakat) masih harus disibukan dengan konsilidasi serta rekonsiliasi public sebagai akibat dari adanya pemekaran daerahnya. Ketiga, Kesiapan daerah dan masyarakat yang belum begitu optimal dalam menyambut kehadiran otonomi daerahnya. Baik dari segi infrastruktur maupun dari segi sumber daya manusia.
Dampak sistemik dari belum optimalnya penyelesaian masalah tersebut adalah keterlambatan pembangunan. Dan muara dari keterlambatan pembangunan tersebut adalah ketidaksejahteraan kegidupan masyarakat setempat. Hal ini terbukti dengan masih besarnya presentase angka kemiskinan dan pengangguran, rendahnya partisipasi pendidikan masyarakat, keterisolasian wilayah, serta rentannya kehidupan sosial kemasyarakatan.
Padahal untuk keempat wilayah tersebut, potensi Sumber daya alamnya sangat melimpah ruah, baik di darat maupun di laut. Mulai dari perikanan yang berlimpah, pertambangan, perkebunan, sumber daya hayati, sampai pada minyak dan gas bumi. Dengan bermodalkan kekeyaan alam yang begitu potensial, bukan berarti kehidupan masyarakat setempat terjamin kesejahteraannya. Terlihat masyarakat setempat masih hidup dalam keadaan yang belum menggembirakan, alias belum begitu sejahtera. Pengangguran dan kemiskinan masih menjadi background yang mencolok dari pembangunan daerah yang masih mudah tersebut.
Dengan kondisi demikian, maka menjadi tugas dan tanggung jawab semua elemen masyarakat setempat untuk bisa meloloskan diri dari masalah kemiskinan dan pengangguran, dengan bermodalkan kekayaan alam yang ada. Terlebih karena kedua hal inilah yang menjadi sumber dari ketidaksjahteraan. Dan momentum yang tepat adalah melalui pelaksanaan ajang demokrasi (Pilkada). Karena melalui pesta rakyat tersebut, nasib daerahnya untuk lima tahun mendatang akan ditentukan. Apakah akan tetap berkutat pada kemunduran atau atau maju dalam penggapaian sebuah kesejahteraan.
Menurut hemat saya, jika ingin memenangkan kompetisi politik (baca : pemilukada) pada daerah-daerag tersebut, yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat saat ini adalah munculnya seorang public figure dengan visi/misi kreatif dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Visi pengentasan kemiskinan dan pengangguran harus menjadi prioritas utama, bukan prioritas kedua.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran, adalah merupakan icon penting yang bisa dijadikan sebagai platform utama sebuah program kerja bagi setiap kandidat Bupati dan Wakil Bupati yang akan bertarung dalam perhelatan pesta demokrasi diwilayahnya tersebut. Sehingga sangatlah tepat sekali, jika kemiskinan dan pengangguran dijadikan sebagai simbol dalam setiap Pilkada dimanapun tempatnya, termasuk di Maluku.
Tinggal di follow-up (baca : ditindak lanjuti), program kerja kandidat mana yang paling pantas dijadikan sebagai dasar pijak bagi masyarakat dalam memberikan suaranya. Akhirnya, sebagai bagian dari masyarakat Maluku, saya ucapkan selamat melaksanakan proses demokrasi tersebut secara LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia). Dan semoga hasilnya bisa membawa daerah ke arah yang lebih baik, terutama terhadap upaya pengentasan masalah kemiskinan dan pengangguran. (**) 
                                  
      Oleh : Abdullah Karepesina*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar